Kamis, 18 Juli 2013


Tuntutan Hijab di Abad 21
 Ida Mazida

“Tahun dua ribu, tahun harapan,
Yang penuh tantangan dan mencemaskan,
Wahai pemuda dan para remaja
Ayo siapkan dirimu
Siap ilmu, siap iman, siap harta....”

Itulah lagu yang dilantunkan oleh sebuah Grup Qosidah terkenal  di awal-awal abad 21 dulu. Kini, tak terasa kita sudah memasuki tahun ke 13 di abad ini, abad yang banyak disebut zaman globalisasi.  Mau atau tidak mau, suka atau terpaksa, hampir semua sisi kehidupan dituntut berubah. Yang tadinya gempa lokal kalau pegang laptop, malahan dituntut bisa mengoperasikan microsoft canggih.  Yang tadinya merem internet, malahan malu kalau gak gaul sama jejaring sosial, entah itu friendster, facebook, twitter, milis, atau yang lain mungkin. Ya, karena siapapun yang cuek, zaman akan menggilasnya. Disaat semua orang berkompetisi untuk menjadi pioneer dalam menemukan hal-hal baru, tetapi kita masih berkutat dengan teori lama, siapkanlah diri untuk menjadi yang terinjak.

Namun, di saat perubahan itu perlu dan menjadi sebuah tuntutan. Apakah semua sisi kehidupan harus berubah?tentu saja tidak bukan?. Dalam kaidah fiqih kita sudah diperkenalkan dengan istilah tsawabit dan mutaghoyirot. Tentu saja kita tak asing dengan istilah ini. Nah berpijak dalam kaidah di ataslah, kita masuk dalam judul yang ditulis di artikel ini: tuntutan hijab di abad 21.

Hijab adalah suatu kewajiban dalam agama kita.  Untuk wanita, sudah dituntun dalam Al-Ahzab:59 dan An-Nur: 31. Jelas ini adalah hukum yang tsawabit, yang tetap. Tidak boleh berubah, di zaman apapun, tetap saja, wanita hanya boleh menampakkan muka dan telapak tangan. tetap saja hijab itu harus diulurkan menutup dada.

Sebagai seorang aktivis atau organisator, apatah lagi yang menduduki posisi atas dalam beberapa organisasi,  saya yakin banyak dari anda yang  sering berjumpa dengan teman-teman dari seluruh nusantara.  Sungguh berbahagia bisa berkumpul dengan saudara seiman dari berbagai daerah yang memiliki karakter, wawasan, logat, dan pola pikir yang beragam.  Seperti itulah yang saya rasakan ketika mengikuti Mukernas III kemarin. Tapi, bukan keberagaman seperti itu yang ingin kita bahas. Ada sesuatu yang menjadi bahan pebincangan menarik di antara akhowat ketika hal ini dilontarkan.  Suatu ketika, entah berawal dari mana, seorang ukhti pernah bertanya sama saya. “kenapa ya mba, semakin tinggi jabatan akhwat dalam organisasi, atau semakin sering kemunculannya di publik, hijabnya koq semakin gaul dan mengecil?”. Saya hanya terdiam waktu itu, karena saya juga bingung bagaimana menjawabnya. Memang prinsip akhwat kini, sadar atau tidak, mau mengaku atau malu, memang terbagi 2 kubu. Satu kubu menyatakan bahwa, “Wajar mereka begitu, karena tuntutan publik agar lebih mudah menarik mad’u. Dalam artian agar masyarakat ‘ammah itu tidak alergi duluan sama kita.” Tapi di kubu yang lain berkata, “ apapun alasannya, tetap tidak boleh mereka begitu, karena mereka public figure lah maka harus bisa menunjukkan busana yang lebih syar’i.”

Astaghfirullah, untuk hal inipun, ternyata kita masih bisa bersilang pendapat. Entah kita di posisi mana. Hanya saja, kita mengambil jalan tengah, bukankah Islam itu wasathon: pertengahan? Nah, kita ambil jalan tengah saja. Selagi qiyadah kita masih menggunakan hijab yang menutup dada walaupun dalam batas kritis dan tidak transparan. Apalagi dia sangat konsisten dalam mendakwahkan Islam dibanding kita, maka mari kita dukung sembari terus mengingatkan. Mereka manusia biasa, yang pasti masihkan bersalah dan lalai. Sedangkan kita, tak sehebat mereka dalam berjuang dan berda’wah di masyarakat luas. Jadi, masih sama-sama banyak kekurangan. Sehingga, tugas yang ingatlah yang mengingatkan, tugas yang sadarlah yang  menyadarkan. Jangan sampai karena hal ini membuat kita pecah atau bahkan seperti  sebuah guyonan tapi memang benar adanya ini, “penyebab kader keluar dari barisan dakwah hanya ada 2, kalau gak kecewa pasti ke cewek”. Na’udzubillah. Tapi jangan lupa, nasihat tetap dalam bingkai keikhlasan dan ketulusan karena Allah. Sehingga yang kita dapat akhirnya sama-sama pahala tak berbatas dari Allah. Jannatu ‘Adn min tahtihal anhaar....

Cukuplah sudah memperbanyak jidal ‘debat’ dalam hal ini. Laa tuktsirul jidaala fii ayyi sya’nin minasy syu-uuni ayyan kaana, fainnal mirooa laa ya’tii bi khoiri – jangan memperbanyak debat dalam masalah apapun dalam keadaan apapun, sebab debat kusir tidak membuahkan kebaikan- ( Nasihat ke 4 Hasan Al Banna). Wallahu a’lam. Fastabiqul khoiroot!

1 komentar: