Tuntutan Hijab di Abad 21
Ida Mazida
“Tahun dua
ribu, tahun harapan,
Yang penuh
tantangan dan mencemaskan,
Wahai pemuda
dan para remaja
Ayo siapkan
dirimu
Siap ilmu,
siap iman, siap harta....”
Itulah lagu
yang dilantunkan oleh sebuah Grup Qosidah terkenal di awal-awal abad 21 dulu. Kini, tak terasa
kita sudah memasuki tahun ke 13 di abad ini, abad yang banyak disebut zaman
globalisasi. Mau atau tidak mau, suka
atau terpaksa, hampir semua sisi kehidupan dituntut berubah. Yang tadinya gempa
lokal kalau pegang laptop, malahan dituntut bisa mengoperasikan microsoft
canggih. Yang tadinya merem internet, malahan malu kalau gak gaul sama jejaring sosial, entah itu
friendster, facebook, twitter, milis, atau yang lain mungkin. Ya, karena
siapapun yang cuek, zaman akan menggilasnya. Disaat semua orang berkompetisi
untuk menjadi pioneer dalam menemukan
hal-hal baru, tetapi kita masih berkutat dengan teori lama, siapkanlah diri
untuk menjadi yang terinjak.
Namun, di saat
perubahan itu perlu dan menjadi sebuah tuntutan. Apakah semua sisi kehidupan
harus berubah?tentu saja tidak bukan?. Dalam kaidah fiqih kita sudah
diperkenalkan dengan istilah tsawabit dan mutaghoyirot. Tentu saja kita tak
asing dengan istilah ini. Nah berpijak dalam kaidah di ataslah, kita masuk
dalam judul yang ditulis di artikel ini: tuntutan hijab di abad 21.
Hijab adalah
suatu kewajiban dalam agama kita. Untuk
wanita, sudah dituntun dalam Al-Ahzab:59 dan An-Nur: 31. Jelas ini adalah hukum
yang tsawabit, yang tetap. Tidak boleh berubah, di zaman apapun, tetap saja,
wanita hanya boleh menampakkan muka dan telapak tangan. tetap saja hijab itu
harus diulurkan menutup dada.
Sebagai
seorang aktivis atau organisator, apatah lagi yang menduduki posisi atas dalam
beberapa organisasi, saya yakin banyak
dari anda yang sering berjumpa dengan
teman-teman dari seluruh nusantara.
Sungguh berbahagia bisa berkumpul dengan saudara seiman dari berbagai
daerah yang memiliki karakter, wawasan, logat, dan pola pikir yang
beragam. Seperti itulah yang saya rasakan
ketika mengikuti Mukernas III kemarin. Tapi, bukan keberagaman seperti itu yang
ingin kita bahas. Ada sesuatu yang menjadi bahan pebincangan menarik di antara
akhowat ketika hal ini dilontarkan.
Suatu ketika, entah berawal dari mana, seorang ukhti pernah bertanya
sama saya. “kenapa ya mba, semakin tinggi jabatan akhwat dalam organisasi, atau
semakin sering kemunculannya di publik, hijabnya koq semakin gaul dan
mengecil?”. Saya hanya terdiam waktu itu, karena saya juga bingung bagaimana
menjawabnya. Memang prinsip akhwat kini, sadar atau tidak, mau mengaku atau
malu, memang terbagi 2 kubu. Satu kubu menyatakan bahwa, “Wajar mereka begitu,
karena tuntutan publik agar lebih mudah menarik mad’u. Dalam artian agar masyarakat ‘ammah itu tidak alergi duluan
sama kita.” Tapi di kubu yang lain berkata, “ apapun alasannya, tetap tidak
boleh mereka begitu, karena mereka public
figure lah maka harus bisa menunjukkan busana yang lebih syar’i.”
Astaghfirullah,
untuk hal inipun, ternyata kita masih bisa bersilang pendapat. Entah kita di
posisi mana. Hanya saja, kita mengambil jalan tengah, bukankah Islam itu
wasathon: pertengahan? Nah, kita ambil jalan tengah saja. Selagi qiyadah kita
masih menggunakan hijab yang menutup dada walaupun dalam batas kritis dan tidak
transparan. Apalagi dia sangat konsisten dalam mendakwahkan Islam dibanding
kita, maka mari kita dukung sembari terus mengingatkan. Mereka manusia biasa,
yang pasti masihkan bersalah dan lalai. Sedangkan kita, tak sehebat mereka
dalam berjuang dan berda’wah di masyarakat luas. Jadi, masih sama-sama banyak
kekurangan. Sehingga, tugas yang ingatlah yang mengingatkan, tugas yang
sadarlah yang menyadarkan. Jangan sampai
karena hal ini membuat kita pecah atau bahkan seperti sebuah guyonan tapi memang benar adanya ini,
“penyebab kader keluar dari barisan dakwah hanya ada 2, kalau gak kecewa pasti
ke cewek”. Na’udzubillah. Tapi jangan lupa, nasihat tetap dalam bingkai
keikhlasan dan ketulusan karena Allah. Sehingga yang kita dapat akhirnya
sama-sama pahala tak berbatas dari Allah. Jannatu
‘Adn min tahtihal anhaar....
Cukuplah sudah
memperbanyak jidal ‘debat’ dalam hal ini. Laa
tuktsirul jidaala fii ayyi sya’nin minasy syu-uuni ayyan kaana, fainnal mirooa
laa ya’tii bi khoiri – jangan memperbanyak debat dalam masalah apapun dalam
keadaan apapun, sebab debat kusir tidak membuahkan kebaikan- ( Nasihat ke 4
Hasan Al Banna). Wallahu a’lam. Fastabiqul khoiroot!
terpaksa nulis
BalasHapus