Cerpen Hari Ibu
|
Oleh: Ida Mazida*
“ Teruntuk para ibu yang tak
henti menyemai kasih di atas ladang
pengharapan untuk anak-anaknya”
Kokok ayam jantan belum
terdengar. Hanya suara jangkrik sayup sayup meningkahi malam yang masih
menyelimuti bumi. Rindy bangkit dari tempat tidurnya. Sulit sekali untuk
memejamkan mata. Sudah 2 jam, kerjanya hanya membolak balikkan badannya di atas
kasur. Sesekali, tangannya menepuk-nepuk
bagian tubuhnya yang dihinggapi nyamuk. Tapi, sialan! Tak satupun nyamuk bisa
dibunuhnya. Kesal, akhirnya Rindy keluar kamar. Dimana ya obat nyamuknya... Mau
tanya sama ibu, tapi.., bukannya tadi dia udah janji gak mau ngomong sama ibu?
uh....!. Dengan mengendap-endap Rindy
mulai bergerilya dari satu meja ke meja lainnya. Dia pernah melihat ibu menaruh
obat nyamuk di bawah meja. Dimana sih si racun tikus, eh, racun nyamuk ni....,
Rindy menggerutu. Makanya, jangan suka merajuk, rasain deh jadi makanan
nyamuk, hati kecilnya menyahut. Huh biarin aja, biar ibu tahu,
aku bener-bener butuh motor itu !!!, sisi lain hatinya gak mau kalah. Puas
mencari-cari, yang dicari gak ditemukan. Jadilah sepanjang malam, Rindy bergadang
ditemani nyamuk.
--=oOo=--
“Bu,
temen-temen Rindy di sekolah udah pada naik motor semua, Rindy kapan bu?” tanya
Rindy suatu hari ketika ia dan ibunya sedang duduk santai di beranda rumah, menunggu
azan maghrib berkumandang. Pertanyaan klise yang terlalu sering diungkapkannya
pada ibunya.
“ Sabar ya, sayang. Insya Allah minggu depan
ibu dapat order besar” jawab Bu Ihat dengan senyum terkembang.
“Pak Yudhi
meminta ibu membuatkan kue 1000 kotak untuk aqiqahan cucu dan syukuran rumah
barunya.” lanjutnya.
Mata Rindy
berbinar menyimak untaian kalimat yang keluar dari mulut ibunya.
“Emang duitnya
dapat berapa bu?”.Rindy mengerinyitkan keningnya. Cukup apa buat beli motor
baru, pikirnya
“kalo satu
kotak lima ribu, ya, tinggal dikalikan aja 1000. Berapa hayo?”
“ yah...,
berarti cuma lima juta dong, bu. mana cukup untuk beli motor baru”, Rindy
langsung lemas mendengar perkataan ibunya barusan. Pupus sudah harapan naik matik
baru ke sekolah.
“ ya, yang seken
gak pa pa lah, Rindy...... Yang penting kamu gak jalan lagi tuh ke sekolah.
Atau Rindy mau nunggu tahun depan baru
dapat motor?” tantang Bu Ihat.
“ya, deh gak pa
pa seken” Rindy menjawab cepat, takut ibunya benar-benar menundanya.
Keesokan
harinya, Rindy bangun lebih pagi dari biasanya. Kali ini kantuknya hilang lebih
cepat dari usapan lembut tangan ibunya yang setiap hari membangunkannya. Senyum
tak henti merekah dari bibir merahnya. Hmmm, akhirnya penantian panjang akan
berakhir. Tinggal seminggu lagi, aku tak jalan kaki lagi ke sekolah. Azan
subuh terdengar dari mushola kecil yang tak jauh dari rumahnya. Dengan
bersiul-siul kecil, dilangkahkannya kakinya ke kamar mandi, berwudhu. Ibunya sudah
menunggu di ruang tamu, bersiap sholat subuh berjamaah di mushola.
Di sekolah, sepanjang waktu
yang dihabiskan semua yang dilakukan tampak menyenangkan di mata Rindy. Serasa
ingin semua orang tahu bahwa sebentar lagi dia akan PUNYA MOTOR!. Teman-temannya
banyak yang mengucapkan selamat padanya. Maklum, di antara teman-teman sekelas,
cuma Rindy yang jalan kaki. Dadanya kembang-kempis, gembira yang bergandengan dengan
harap harap cemas campur aduk menyelimuti pikiran. Apalagi jika ia ingat
komentar pedas dari teman sekelasnya, Reysa cs.
“Baguslah, akhirnya kamu punya motor. Kirain mau cari tebengan
seumur hidup”.
“Masa’, kelas favorit, siswanya ada yang pake BD 11”.
Rindy tersentak, tapi hanya memilih diam. Dikuat-kuatkannya hatinya
untuk tidak menanggapi rivalnya itu. Sabar, sabar... tinggal seminggu lagi !
--=oOo=--
Pulang sekolah, Rindy langsung ke
rumah. Ajakan hang-out teman segengya ditolaknya dengan halus. Rindy
ingin cepat ketemu ibu. Selama perjalanan, Rindy membayangkan senyuman mekar di
wajah ibunya saat ia bercerita bahwa banyak teman- temannya yang ngucapin selamat.
Setibanya di rumah, setelah ngucapin salam-lekumnya, Rindy langsung
mencari ibunya. Ternyata gak ada siapa-siapa. Mungkin ibu lagi nemuin Pak
Yudhi, nyocokin kue yang mau dibuat, pikir Rindy. Perut Rindy bernyanyi,
keroncongan. Dilangkahkannya kakinya menuju meja makan, dibukanya tudung nasi.
Nyam..., aroma sup panas dan tempe goreng+sambal ijo menyeruak membangkitkan
seleranya. Ibu memang tahu makanan kesukaan Rindy. Tiap hari tempe goreng dan
sambal ijo tak pernah tinggal dari meja makan. Rindy kekenyangan, ibu belum
juga pulang. Kelamaan menunggu, akhirnya Rindy tertidur di kursi ruang tamu. Ia
baru bangun ketika terdengar suara pintu terbuka. Ibu pulang!. Tapi wajah ibu terlihat sedih.
Ada rasa takut dalam diri Rindy, jangan-jangan. Ah..., ditepisnya
segera. Rindy gak berani bertanya apa-apa. Bu Ihat langsung duduk di dekat Rindy.
Terdiam sejenak, akhirnya ia bersuara.
“Rindy tahu Bu
Haryo yang suaminya baru meninggal kemaren, gak?”, tanya ibunya tiba-tiba.
“Tahu,bu.
Emangnya kenapa bu?”. Rindy heran, datang-datang Ibu langsung nanyain Bu
Haryo, bukan bilang Rindy capek nunggu apa gak. Rindy cemberut.
“Gini, Bu Haryo
kan punya 3 anak yang masih kecil-kecil, yang paling tua aja baru kelas 2 SD”,
Bu Ihat Menghela napas, nampak ada perasaan mengganjal dalam hatinya.
“Nah, suami
beliau gak ninggalin warisan apa-apa, selain rumah yang Rindy lihat sendiri
kondisinya gimana”.
“Lha,
hubungannya, apa emangnya sama kita, bu?” Rindy bengong, belum tahu arah
pembicaraan ibunya kemana.
“Nak, kamu tahu
kan, dengan menolong orang lain, Allah akan memudahan urusan kita?”, Rindy
mengangguk.
“Tadi Bu Haryo
datang ke sini, mau pinjam uang sama ibu. Tapi gak ibu kasih, karena emang gak ada”
Rindy semakin cemas.
“Jadi, orderan kue pak Yudhi ibu kasih sama Bu
Haryo....”. Belum selesai Bu Ihat bicara, Rindy langsung menyambung.
“Jadi Rindy gak
jadi dapat motor?!!”. Rindy menjerit.
Ia
merasa sudah tahu ke mana muara pembicaraan ibunya. Ketakutan yang datang
semenjak tadi benar-benar terjadi. Motor tidak jadi dibeli. Mata Rindy banjir
bak telaga. Tidak! Apa kata teman-taman sekelasnya. Ia ingat muka sinis Reysa
cs. Tidak.....! . Rindy langsung berlari ke kamar. Tak diperdulikannya
panggilan ibunya.
Di kamar Rindy menangis tersedu. Betapa pedih hidup yang dirasanya.
Ia sakit, sakit sekali.. Mengapa Bu Haryo harus datang ke rumah. Mengapa ibunya
lebih memikirkan Bu Haryo daripada dia, anaknya sendiri. Mengapa dahulu dia
memutuskan untuk bersekolah di sekolah elite, sehingga sekarang harus
menanggung malu!!!. Mengapa ayah harus pergi secepat ini. Beribu slide penggugatan
bermunculan dalam lintasan pikirannya.
Di luar, ibunya terus memanggilnya, meminta maaf, dan mengucapkan kata kata penyesalan.
Rindy tak mau mendengarnya.Disetelnya Kaset Tape keras-keras,ditutupnya bantal
ke kepalanya dalam-dalam.
--=oOo=--
Rindy tak mau
sekolah. Rindy tak mau jadi bahan ledekan Reysa cs. Matanya bengkak, kebanyakan
nangis ditambah sudah dua malam ini gak tidur. Badannya semakin melemah karena
perutnya pun tak sudi diisi nasi. Jika ibunya masuk kamar, Rindy pura-pura
tidur.
Ini hari ke-3 aksi mogoknya. Rindy merenung, tak ada gunanya terus
merajuk. Capek!!!. Mau nangis darah sekalipun, kalau gak ada duit, motor juga
gak akan pernah dapat. Ada rasa penyesalan di lubuk hati terdalamnya. Rindy rindu
ibu. Rindy rindu goreng tempe dan sambal ijonya. Dibukanya pintu kamar, Rindy mau
minta maaf.
Dilangkahkannya
kaki ke kamar mandi, dicucinya muka, segarnya... Ingin rasanya mandi, tapi Rindy
sudah tak sabar ingin ketemu ibu. Dipanggilnya ibunya, tak terdengar sahutan. Rindy
berjalan mengitari rumah. Ada matik baru
terparkir di teras. Rindy menelan ludah, Motor siapa ya,.. Dilihatnya Om
Sapto, tetangga sebelah rumahnya sedang memberi makan ayamnya. Disapanya Om
Sapto, “Om, tahu gak ibu pergi ke mana?”
“Tadi Om lihat lagi beli sayur tu di depan, tapi koq cepet banget
ya ngilangnya.”, Om Sapto kebingungan sendiri.
Tiba-tiba Bude Tien yang jualan sayuran di depan langsung nyahut. “
Eh, Rindy, sini!!” panggil budhe Tien, setengah berteriak.
“ Ada apa budhe?!” jawab Rindy tak kalah kerasnya
“Kesini dulu pokoknya! “
Rindy langsung menyeberang jalan raya menemui Bude Tien.
“Udah selesai merajuknya?” Bude Tien menggoda. Rindy tersenyum malu.
“ Tadi Bu Ihat nitip motor. Katanya ke rumah pak Yudhi bentar, ada
hal penting.“ Kata Bude Tien langsung.
“Emangnya motor tu punya siapa Bude?”.
“Lha, Rindy belum tahu tho
nduk?. Itu motor Rindy” Kata Bude Tien sambil tersenyum.
“ Bu Ihat banyak cerita lho
sama Bude”.
Mengalirlah rangkaian peristiwa selama tiga hari ini dari mulut
Bude Tien. Tentang kecemasan ibunya karena Rindy gak mau makan. Tentang rasa
sesal ibunya karena sudah membuat Rindy menangis. Tentang kecewanya karena Rindy
langsung memotong pembicaraan ibunya,
padahal ia belum selesai bicara mengenai soal order kue Pak Yudhi. Ternyata,
ibunya dapat order tambahan, nasi bungkus yang jumlah nya sama dengan order kue,
1000 kotak. Sehingga, untuk kue kotak, beliau percayakan pada Bu Haryo, untuk
membantu beliau !. Rindy terperangah. Motor itu ternyata miliknya!. Air menggenang di pelupuk matanya. Ia salah.
Benar-benar telak. Ia harus bertemu ibu sekarang. Ya, sekarang!. Rindy akan
sujud mencium kaki ibunya. Terbayang pengorbanan ibunya selama ini. Bagaimana
ibunya tak pernah mengeluh walau tiap hari hari harus menggoreng tempe dan
menggiling sambal ijo. Bagaimana ibunya tetap kuat walau hanya seorang single-parent
yang harus menghidupi anaknya yang banyak
mintanya. Rindy ingat ibunya yang tak pernah marah, tak pernah membentak
apatah lagi memukul, selalu sabar. Ibu yang shalihah, cocok dengan namanya :
Solihat. Rindy mengutuk dirinya. Cukuplah sampai disini episode kemanjaan dalam
dirinya. Ia akan berubah !.
Duhai Allah, alangkah durhakanya hamba, hamba janji ya Allah akan
menjadi anak yang baik. Hamba akan selalu berbakti pada ibu..., janjinya sepenuh hati. Ia buru-buru pamit sama Bude Tien.
Tergesa-gesa ia berlari menuju rumah pak Yudhi.
Di persimpangan, ia melihat kerumunan orang banyak. Ada kecelakaan
rupanya. Tak terlalu diperdulikannya. Matanya terus menatap ke seberang jalan.
Rumah Pak Yudhi di dalam gang di seberang jalan tersebut. Dia berhenti sejenak
di depan zebra-cross, menunggu kendaraan agak sepi. Tapi agaknya pagi-pagi
akhir pekan seperti ini, kendaraan lebih ramai dari biasanya. Rindy melihat
sekilas ke arah kerumunan. Sepertinya dia familiar dengan korban kecelakaan
itu! Daster coklat dan jilbab putihnya, mengapa mirip dengan pakaian ibunya?. Rindy
gemetar. Ia takut!. Perlahan ia melangkah ke arah kerumunan itu. Disibaknya
daun pisang yang menutupi muka korban. Rindy menjerit pilu. Pagi ini langit
seakan runtuh di depan matanya.
*Ida Mazida, itulah nama terindah yang diberikan orang tuanya.
Terkesan seperti nama sundanese,
padahal dari datuk buyut pun bukan orang Sunda J. Keluarga, teman-teman, dan orang terdekatya biasa memanggilnya
dengan panggilan Ida, Aisy, Bungsu, Ukhti, Ukhti Majid, dll. Bagi penulis
apapun panggilannya tak masalah asalkan memiliki makna yang baik, karena nama
adalah sebuah doa. Penulis dilahirkan 21 tahun silam, tepatnya 29 Januari 1991,
di sebuah desa di ujung selatan Provinsi Bengkulu, Desa Mentiring Kab. Kaur.
Setelah menamatkan SD dan MTs di desanya, penulis hijrah ke kota Bengkulu dan
melanjutkan pendidikan di SMAN 3 kota Bengkulu, hingga akhirnya melanjutkan
studi di Tadris Bahasa Inggris IAIN Bengkulu. Tidak ingin menjadi mahasiswi
‘kupu-kupu’, penulis melibatkan diri di beberapa organisasi ekstra dan intra
kampus, diantaranya Staf Pemberdayaan Muslimah PD KAMMI Bengkulu, LDK FOPMA
IAIN Bengkulu, KAPMEPI Prov. Bengkulu, dan Komunitas Membaca dan Menulis Kreatif
(KMMK) IAIN Bengkulu. Penulis senang bertukar pengalaman dan mendapatkan teman
baru, so jika teman teman ingin share
silakan dihubungi di email: aisyahcintaislam@gmail.com. Salam Muslimah Membangun Peradaban!!!!
untukmu ibu......
BalasHapus