Kamis, 18 Juli 2013


Cerpen Hari Ibu
Ibu, maafkan Rindy.......
Oleh: Ida Mazida*
“ Teruntuk para ibu yang tak henti  menyemai kasih di atas ladang pengharapan untuk anak-anaknya”
Kokok ayam jantan  belum terdengar. Hanya suara jangkrik sayup sayup meningkahi malam yang masih menyelimuti bumi. Rindy bangkit dari tempat tidurnya. Sulit sekali untuk memejamkan mata. Sudah 2 jam, kerjanya hanya membolak balikkan badannya di atas kasur. Sesekali,  tangannya menepuk-nepuk bagian tubuhnya yang dihinggapi nyamuk. Tapi, sialan! Tak satupun nyamuk bisa dibunuhnya. Kesal, akhirnya Rindy keluar kamar. Dimana ya obat nyamuknya... Mau tanya sama ibu, tapi.., bukannya tadi dia udah janji gak mau ngomong sama ibu? uh....!. Dengan mengendap-endap  Rindy mulai bergerilya dari satu meja ke meja lainnya. Dia pernah melihat ibu menaruh obat nyamuk di bawah meja. Dimana sih si racun tikus, eh, racun nyamuk ni...., Rindy menggerutu. Makanya, jangan suka merajuk, rasain deh jadi makanan nyamuk, hati kecilnya menyahut. Huh biarin aja, biar ibu tahu, aku bener-bener butuh motor itu !!!, sisi lain hatinya gak mau kalah. Puas mencari-cari, yang dicari gak ditemukan. Jadilah sepanjang malam, Rindy bergadang ditemani nyamuk.
--=oOo=--
“Bu, temen-temen Rindy di sekolah udah pada naik motor semua, Rindy kapan bu?” tanya Rindy suatu hari ketika ia dan ibunya sedang duduk santai di beranda rumah, menunggu azan maghrib berkumandang. Pertanyaan klise yang terlalu sering diungkapkannya pada ibunya.

 “ Sabar ya, sayang. Insya Allah minggu depan ibu dapat order besar” jawab Bu Ihat dengan senyum terkembang.

“Pak Yudhi meminta ibu membuatkan kue 1000 kotak untuk aqiqahan cucu dan syukuran rumah barunya.” lanjutnya.

Mata Rindy berbinar menyimak untaian kalimat yang keluar dari mulut ibunya.

“Emang duitnya dapat berapa bu?”.Rindy mengerinyitkan keningnya. Cukup apa buat beli motor baru, pikirnya

“kalo satu kotak lima ribu, ya, tinggal dikalikan aja 1000. Berapa hayo?”

“ yah..., berarti cuma lima juta dong, bu. mana cukup untuk beli motor baru”, Rindy langsung lemas mendengar perkataan ibunya barusan. Pupus sudah harapan naik matik baru ke  sekolah.

“ ya, yang seken gak pa pa lah, Rindy...... Yang penting kamu gak jalan lagi tuh ke sekolah. Atau Rindy mau nunggu tahun depan  baru dapat motor?” tantang Bu Ihat.

“ya, deh gak pa pa seken” Rindy menjawab cepat, takut ibunya benar-benar menundanya.

Keesokan harinya, Rindy bangun lebih pagi dari biasanya. Kali ini kantuknya hilang lebih cepat dari usapan lembut tangan ibunya yang setiap hari membangunkannya. Senyum tak henti merekah dari bibir merahnya. Hmmm, akhirnya penantian panjang akan berakhir. Tinggal seminggu lagi, aku tak jalan kaki lagi ke sekolah. Azan subuh terdengar dari mushola kecil yang tak jauh dari rumahnya. Dengan bersiul-siul kecil, dilangkahkannya kakinya ke kamar mandi, berwudhu. Ibunya sudah menunggu di ruang tamu, bersiap sholat subuh berjamaah di mushola.
 Di sekolah, sepanjang waktu yang dihabiskan semua yang dilakukan tampak menyenangkan di mata Rindy. Serasa ingin semua orang tahu bahwa sebentar lagi dia akan PUNYA MOTOR!. Teman-temannya banyak yang mengucapkan selamat padanya. Maklum, di antara teman-teman sekelas, cuma Rindy yang jalan kaki. Dadanya kembang-kempis, gembira yang bergandengan dengan harap harap cemas campur aduk menyelimuti pikiran. Apalagi jika ia ingat komentar pedas dari teman sekelasnya, Reysa cs.
“Baguslah, akhirnya kamu punya motor. Kirain mau cari tebengan seumur hidup”.
“Masa’, kelas favorit, siswanya ada yang pake BD 11”.
Rindy tersentak, tapi hanya memilih diam. Dikuat-kuatkannya hatinya untuk tidak menanggapi rivalnya itu. Sabar, sabar... tinggal seminggu lagi !
--=oOo=--
            Pulang sekolah, Rindy langsung ke rumah. Ajakan hang-out teman segengya ditolaknya dengan halus. Rindy ingin cepat ketemu ibu. Selama perjalanan, Rindy membayangkan senyuman mekar di wajah ibunya saat ia bercerita bahwa banyak teman- temannya yang ngucapin selamat. Setibanya di rumah, setelah ngucapin salam-lekumnya, Rindy langsung mencari ibunya. Ternyata gak ada siapa-siapa. Mungkin ibu lagi nemuin Pak Yudhi, nyocokin kue yang mau dibuat, pikir Rindy. Perut Rindy bernyanyi, keroncongan. Dilangkahkannya kakinya menuju meja makan, dibukanya tudung nasi. Nyam..., aroma sup panas dan tempe goreng+sambal ijo menyeruak membangkitkan seleranya. Ibu memang tahu makanan kesukaan Rindy. Tiap hari tempe goreng dan sambal ijo tak pernah tinggal dari meja makan. Rindy kekenyangan, ibu belum juga pulang. Kelamaan menunggu, akhirnya Rindy tertidur di kursi ruang tamu. Ia baru bangun ketika terdengar suara pintu terbuka.  Ibu pulang!. Tapi wajah ibu terlihat sedih. Ada rasa takut dalam diri Rindy, jangan-jangan. Ah..., ditepisnya segera. Rindy gak berani bertanya apa-apa. Bu Ihat langsung duduk di dekat Rindy. Terdiam sejenak, akhirnya ia bersuara.

“Rindy tahu Bu Haryo yang suaminya baru meninggal kemaren, gak?”, tanya ibunya tiba-tiba.

“Tahu,bu. Emangnya kenapa bu?”. Rindy heran, datang-datang Ibu langsung nanyain Bu Haryo, bukan bilang Rindy capek nunggu apa gak. Rindy cemberut.

“Gini, Bu Haryo kan punya 3 anak yang masih kecil-kecil, yang paling tua aja baru kelas 2 SD”, Bu Ihat Menghela napas, nampak ada perasaan mengganjal dalam hatinya.

“Nah, suami beliau gak ninggalin warisan apa-apa, selain rumah yang Rindy lihat sendiri kondisinya gimana”.

“Lha, hubungannya, apa emangnya sama kita, bu?” Rindy bengong, belum tahu arah pembicaraan ibunya kemana.

“Nak, kamu tahu kan, dengan menolong orang lain, Allah akan memudahan urusan kita?”, Rindy mengangguk.

“Tadi Bu Haryo datang ke sini, mau pinjam uang sama ibu. Tapi gak ibu kasih, karena emang gak ada” Rindy semakin cemas.

 “Jadi, orderan kue pak Yudhi ibu kasih sama Bu Haryo....”. Belum selesai Bu Ihat bicara, Rindy langsung menyambung.

“Jadi Rindy gak jadi dapat motor?!!”. Rindy menjerit.

Ia merasa sudah tahu ke mana muara pembicaraan ibunya. Ketakutan yang datang semenjak tadi benar-benar terjadi. Motor tidak jadi dibeli. Mata Rindy banjir bak telaga. Tidak! Apa kata teman-taman sekelasnya. Ia ingat muka sinis Reysa cs. Tidak.....! . Rindy langsung berlari ke kamar. Tak diperdulikannya panggilan ibunya.

Di kamar Rindy menangis tersedu. Betapa pedih hidup yang dirasanya. Ia sakit, sakit sekali.. Mengapa Bu Haryo harus datang ke rumah. Mengapa ibunya lebih memikirkan Bu Haryo daripada dia, anaknya sendiri. Mengapa dahulu dia memutuskan untuk bersekolah di sekolah elite, sehingga sekarang harus menanggung malu!!!. Mengapa ayah harus pergi secepat ini. Beribu slide penggugatan  bermunculan dalam lintasan pikirannya. Di luar, ibunya terus memanggilnya, meminta maaf, dan mengucapkan kata kata penyesalan. Rindy tak mau mendengarnya.Disetelnya Kaset Tape keras-keras,ditutupnya bantal ke  kepalanya dalam-dalam.
--=oOo=--
            Rindy tak mau sekolah. Rindy tak mau jadi bahan ledekan Reysa cs. Matanya bengkak, kebanyakan nangis ditambah sudah dua malam ini gak tidur. Badannya semakin melemah karena perutnya pun tak sudi diisi nasi. Jika ibunya masuk kamar, Rindy pura-pura tidur.
Ini hari ke-3 aksi mogoknya. Rindy merenung, tak ada gunanya terus merajuk. Capek!!!. Mau nangis darah sekalipun, kalau gak ada duit, motor juga gak akan pernah dapat. Ada rasa penyesalan di lubuk hati terdalamnya. Rindy rindu ibu. Rindy rindu goreng tempe dan sambal ijonya. Dibukanya pintu kamar, Rindy mau minta maaf.
            Dilangkahkannya kaki ke kamar mandi, dicucinya muka, segarnya... Ingin rasanya mandi, tapi Rindy sudah tak sabar ingin ketemu ibu. Dipanggilnya ibunya, tak terdengar sahutan. Rindy berjalan mengitari rumah. Ada matik  baru terparkir di teras. Rindy menelan ludah, Motor siapa ya,.. Dilihatnya Om Sapto, tetangga sebelah rumahnya sedang memberi makan ayamnya. Disapanya Om Sapto, “Om, tahu gak ibu pergi ke mana?”
“Tadi Om lihat lagi beli sayur tu di depan, tapi koq cepet banget ya ngilangnya.”, Om Sapto kebingungan sendiri.
Tiba-tiba Bude Tien yang jualan sayuran di depan langsung nyahut. “ Eh, Rindy, sini!!” panggil budhe Tien, setengah berteriak.
“ Ada apa budhe?!” jawab Rindy tak kalah kerasnya
“Kesini dulu pokoknya! “
Rindy langsung menyeberang jalan raya menemui Bude Tien.
“Udah selesai merajuknya?” Bude Tien  menggoda. Rindy tersenyum malu.
“ Tadi Bu Ihat nitip motor. Katanya ke rumah pak Yudhi bentar, ada hal penting.“ Kata Bude Tien langsung.
“Emangnya motor tu punya siapa Bude?”.
“Lha, Rindy belum tahu  tho nduk?. Itu motor Rindy” Kata Bude Tien sambil tersenyum.
 “ Bu Ihat banyak cerita lho sama Bude”.
Mengalirlah rangkaian peristiwa selama tiga hari ini dari mulut Bude Tien. Tentang kecemasan ibunya karena Rindy gak mau makan. Tentang rasa sesal ibunya karena sudah membuat Rindy menangis. Tentang kecewanya karena Rindy  langsung memotong pembicaraan ibunya, padahal ia belum selesai bicara mengenai soal order kue Pak Yudhi. Ternyata, ibunya dapat order tambahan, nasi bungkus yang jumlah nya sama dengan order kue, 1000 kotak. Sehingga, untuk kue kotak, beliau percayakan pada Bu Haryo, untuk membantu beliau !. Rindy terperangah. Motor itu ternyata miliknya!.  Air menggenang di pelupuk matanya. Ia salah. Benar-benar telak. Ia harus bertemu ibu sekarang. Ya, sekarang!. Rindy akan sujud mencium kaki ibunya. Terbayang pengorbanan ibunya selama ini. Bagaimana ibunya tak pernah mengeluh walau tiap hari hari harus menggoreng tempe dan menggiling sambal ijo. Bagaimana ibunya tetap kuat walau hanya seorang single-parent yang harus menghidupi anaknya yang banyak  mintanya. Rindy ingat ibunya yang tak pernah marah, tak pernah membentak apatah lagi memukul, selalu sabar. Ibu yang shalihah, cocok dengan namanya : Solihat. Rindy mengutuk dirinya. Cukuplah sampai disini episode kemanjaan dalam dirinya. Ia akan berubah !.
Duhai Allah, alangkah durhakanya hamba, hamba janji ya Allah akan menjadi anak yang baik. Hamba akan selalu berbakti pada ibu..., janjinya sepenuh hati. Ia buru-buru pamit sama Bude Tien. Tergesa-gesa ia berlari menuju rumah pak Yudhi.
Di persimpangan, ia melihat kerumunan orang banyak. Ada kecelakaan rupanya. Tak terlalu diperdulikannya. Matanya terus menatap ke seberang jalan. Rumah Pak Yudhi di dalam gang di seberang jalan tersebut. Dia berhenti sejenak di depan zebra-cross, menunggu kendaraan agak sepi. Tapi agaknya pagi-pagi akhir pekan seperti ini, kendaraan lebih ramai dari biasanya. Rindy melihat sekilas ke arah kerumunan. Sepertinya dia familiar dengan korban kecelakaan itu! Daster coklat dan jilbab putihnya, mengapa mirip dengan pakaian ibunya?. Rindy gemetar. Ia takut!. Perlahan ia melangkah ke arah kerumunan itu. Disibaknya daun pisang yang menutupi muka korban. Rindy menjerit pilu. Pagi ini langit seakan runtuh di depan matanya. 

*Ida Mazida, itulah nama terindah yang diberikan orang tuanya. Terkesan seperti nama sundanese, padahal dari datuk buyut pun bukan orang Sunda J. Keluarga, teman-teman, dan orang terdekatya biasa memanggilnya dengan panggilan Ida, Aisy, Bungsu, Ukhti, Ukhti Majid, dll. Bagi penulis apapun panggilannya tak masalah asalkan memiliki makna yang baik, karena nama adalah sebuah doa. Penulis dilahirkan 21 tahun silam, tepatnya 29 Januari 1991, di sebuah desa di ujung selatan Provinsi Bengkulu, Desa Mentiring Kab. Kaur. Setelah menamatkan SD dan MTs di desanya, penulis hijrah ke kota Bengkulu dan melanjutkan pendidikan di SMAN 3 kota Bengkulu, hingga akhirnya melanjutkan studi di Tadris Bahasa Inggris IAIN Bengkulu. Tidak ingin menjadi mahasiswi ‘kupu-kupu’, penulis melibatkan diri di beberapa organisasi ekstra dan intra kampus, diantaranya Staf Pemberdayaan Muslimah PD KAMMI Bengkulu, LDK FOPMA IAIN Bengkulu, KAPMEPI Prov. Bengkulu, dan Komunitas Membaca dan Menulis Kreatif (KMMK) IAIN Bengkulu. Penulis senang bertukar pengalaman dan mendapatkan teman baru, so jika teman teman ingin share silakan dihubungi di email: aisyahcintaislam@gmail.com. Salam Muslimah Membangun Peradaban!!!!

1 komentar: