Kamis, 18 Juli 2013


Mengertilah Aku, ukhti....
By Ida Mazida

Allahu akbar Allaaaaahu akbar......
Azan berkumandang, kencang dan merdu, menandakan pergantian waktu. Siang terang berganti malam gulita. Ya, waktu maghrib telah tiba.  Sejenak  lalu lalang kendaraan agak menyepi, suara  ribut anak kecil bermain di lapangan masjid berganti dengan lantunan ayat-ayat dari sang imam. Anak-anak kecil yang tadinya berkejar-kejaran tanpa peduli bau asem dan baju yang belepotan tanah, ketika mendengar suara adzan, dengan tertib langsung pulang ke rumah masing-masing tanpa harus dipanggil oleh orang tuanya. Barangkali hal ini juga berkaitan dengan mitos tentang waktu maghrib ini  yang masih dipercayai oleh sebagian besar masyarakat. Konon katanya, maghrib adalah saat-saat kuntilanak berkeliaran mencari mangsa. Wallahu a’lam siapa yang pertama kali meriwayatkannya. Yang jelas, mengapa mitos ini masih dipakai, tentu saja karena ia adalah jurus jitu  yang bisa menolong orang tua membujuk anaknya untuk pulang ke rumah.  Tapi seiring rasionalitas dan intelektualitas yang makin berkembang, mitos ini berganti dengan bujukan yang  juga lebih rasional.
            Di luar sana, jalanan masih sepi. Tapi tidak demikian di Pondok Tahfidz Nurul Fikri.  Santri  pondok yang memang kebanyakan aktivis kampus terkadang terpaksa harus pulang bertepatan dengan waktu maghrib. Padahal, ta’limat pondok mewajibkan santri sudah berada di pondok sebelum pukul 18.00. Bukan hanya sudah berada di pondok, tapi sudah mandi dan memegang alma’tsurat dan mushaf di tangan.  Hari ini, ternyata nasib baik belum berpihak dengan Rahma. Waktu pengajian yang molor dan peserta yang antusias bertanya, ditambah ban motor pecah, membuatnya harus rela melanggar ta’limat. Terlambat pulang ke pondok!.
            Ceklek!, dibukanya perlahan gagang pintu. Matanya langsung berpapasan dengan barisan rapi muslimah berpakaian serba putih (baca: sholat maghrib berjamaah J). Rahma langsung menuju ruang tengah, disana dilihatnya Aisy sudah berdiri sambil memegang pensil. Ternyata Aisy diamanahi  untuk jadi petugas pencatat santri telat hari ini. Melihat Rahma yang baru pulang, Aisy langsung bersuara. “Wah...., ada yang telat nih hari ini. ‘iqobnya diisi ya... “, katanya sambil mengerdipkan mata. Mungkin candaan ini tidak disaat yang tepat. Saat letih raga karena seharian beraktivitas diluar rumah dan hati yang kesal karena pulang terlambat belum hilang, candaan malahan terasa sebagai ejekan yang menyakitkan hati.
“”iqob apanya??!!!”teriak Rahma. Aisy terperanjat.
“ya, kita kan udah sepakati konsekuensi telat itu seperti apa kemaren, Inga1...”sahut Aisy dengan agak-agak takut.
“Allah aja punya rukhsoh untuk ummatNya, Rasulullah aja masih mendengar alasan para sahabatnya, Aisy...”, balas  Rahma sembari mengguncangkan bahu Aisy.
Mata Aisy berkaca, tak disangkanya candaan yang maksudnya untuk menjadi pemanis ukhuwah ternyata menjadi malapetaka.
“Inga ini kenapa sih...,  hiks...” Aisy tersedan.
Rahma langsung berlalu meninggalkan Aisy yang masih dalam kebingungan. Bingung dengan sikap Rahma yang membuat hatinya terluka.
***
Waktu berjalan cepat. Tidak terasa sudah hampir dua hari ini Rahma dan Aisy tidak pernah lagi bertegur sapa. Walaupun bicara, itupun terpaksa dan hanya ungkapan “iya”, “he e”, atau sekedar isyarat anggukan atau gelengan kepala, tidak lebih. Lidah terasa kelu untuk berkata. Apatah lagi saling meminta maaf. Saat mata tak sengaja beradu, maka refleks berpaling. Sungguh keadaan yang menyiksa dan membuat hati gulana.
            Aisy menyendiri di kamar, merenung. Memikirkan upaya terbaik untuk merajut kembali ukhuwah yang sempat renggang. Dia berpikir, ini adalah hari kedua perang dinginnya dengan Rahma. Berarti, besok adalah deadline mereka untuk berbaikan. Aisy sadar Allah hanya memberinya waktu tiga hari untuk berpikir dan merenung. Apakah memilih Allah atau memilih setan? Memilih akal atau memilih nafsu?.  Sungguh celaka, jika mementingkan hawa nafsu. Allah telah memperingatkan, jika tiga hari kita tetap tak mampu menatap mata saudara kita dengan cinta, maka masihkah kita mengharap doa-doa panjang kita akan diijabah?, masihkah berharap mencium wangi syurga ?. Aisy tersedu. Dia tidak mau, sungguh tidak mau menjadi golongan yang celaka. Akhirnya diputuskannyalah untuk meminta maaf. waktu sholat adalah waktu yang paling tepat!. Aisy tersenyum, menyeka air mata.
            Adzan memanggil merdu dari speaker Masjid Al Kautsar. Waktu Isya’ tiba.  Aisy memilih tempat sholat yang berdekatan dengan Rahma. Imam sholat kali ini Mba Yani, Pengasuh Pondok.  Bacaannya merdu, dengan tahsin yang pas di telinga.  Ayat yang dibaca cukup panjang, namun karena dilantunkan dengan tartil, tidak terasa lama hingga sholat ditutup dengan salam. Aisy berdzikir, dilanjutkan dengan doa. Setelah mengusapkan kedua tangan ke wajahnya,  dia berpaling ke sebelah kanan, Rahma masih khusyuk berdoa. Aisy menunggu Rahma menyudahi doa, sebelum melancarkan aksi. Hingga akhirnya... “ Inga, maaf ya..., Aisy yang salah”. “ya sama sama, Aisy. Inga juga minta maaf”.  Hanya sebaris kata yang terucap, tapi sudah cukup menjebol gulana yang selama 2 hari ini menggelayuti hati keduanya.
            Memang hati yang sudah terluka, sulit sembuh seperti sedia kala. Tapi jika bisa melihat hikmah yang besar dari sebuah peristiwa, maka kita akan melihat bekas luka itu sebagai saksi sejarah, yang memberikan kita pengalaman yang akan menjadi guru untuk menapaki kehidupan selanjutnya. Aisy, setelah peristiwa itu menjadi lebih bisa melihat kesalahan dengan pertimbangan situasi dan kondisi. Demikian juga Rahma, lebih bisa bersikap lembut dan melihat sisi baik dari sebuah gurauan. Tapi yang lebih penting adalah, bagaimana kita bisa mengambil hikmah dari kisah nyata ini. Memahami orang lain adalah suatu keharusan. Oleh karena itulah ulama internasional, Hasan Al Bana’ meletakkan istilah paham (tafahum) itu di urutan kedua setelah istilah kenal (ta’aruf). Dan memang seorang mukmin belum bisa dikatakan kenal jika belum memahami karakter saudaranya secara utuh. Betapa kita sering meminta pemahaman dan pemakluman dari saudara kita terhadap kita, dan kita tidak sadar  bahwa dia tidak paham dengan kondisi apa yang harus dimaklumkannya. Dan betapa sering kita tidak memahami keadaan saudara kita, sehingga timbul dzon-dzon negatif yang membuat  ukhuwah kita menjadi kering dan hambar.  Kita memicingkan sebelah mata ketika melihat saudara kita melakukan kesalahan kecil, dan melupakan salah kita yang mungkin segerobak, setruk, bahkan segudang. Kita berdoa semoga Allah masih memberi cahaya dalam hati kita untuk konsisten berhusnudzon dengan saudara kita, bahkan ketika alasan untuk suudzon itu lebih banyak dan pasti.  kita pun terus bermunajat  kepada Allah, agar Allah mengumpulkan hati-hati kita yang terserak. Allahumma innaka ta’lamu anna haadzihil quluub... qodij tama’at ala mahabbatik...... Duhai Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati hati ini telah berkumpul dalam kecintaan hanya padaMu. Satukanlah hati kami ya Robb.
     Rumah Tahfidz Nurul Fikri,
     Dalam lintasan wajah-wajah saudara,
yang kucintai karena Allah

Ida “‘Aisy” Mazida

1 salah satu panggilan untuk perempuan yang lebih tua

2 komentar: