Mengertilah
Aku, ukhti....
By
Ida Mazida
Allahu
akbar Allaaaaahu akbar......
Azan
berkumandang, kencang dan merdu, menandakan pergantian waktu. Siang terang
berganti malam gulita. Ya, waktu maghrib telah tiba. Sejenak
lalu lalang kendaraan agak menyepi, suara ribut anak kecil bermain di lapangan masjid
berganti dengan lantunan ayat-ayat dari sang imam. Anak-anak kecil yang tadinya
berkejar-kejaran tanpa peduli bau asem dan baju yang belepotan tanah, ketika
mendengar suara adzan, dengan tertib langsung pulang ke rumah masing-masing
tanpa harus dipanggil oleh orang tuanya. Barangkali hal ini juga berkaitan
dengan mitos tentang waktu maghrib ini
yang masih dipercayai oleh sebagian besar masyarakat. Konon katanya,
maghrib adalah saat-saat kuntilanak berkeliaran mencari mangsa. Wallahu a’lam
siapa yang pertama kali meriwayatkannya. Yang jelas, mengapa mitos ini masih dipakai,
tentu saja karena ia adalah jurus jitu yang bisa menolong orang tua membujuk anaknya
untuk pulang ke rumah. Tapi seiring
rasionalitas dan intelektualitas yang makin berkembang, mitos ini berganti
dengan bujukan yang juga lebih rasional.
Di luar sana, jalanan masih sepi.
Tapi tidak demikian di Pondok Tahfidz Nurul Fikri. Santri
pondok yang memang kebanyakan aktivis kampus terkadang terpaksa harus
pulang bertepatan dengan waktu maghrib. Padahal, ta’limat pondok mewajibkan
santri sudah berada di pondok sebelum pukul 18.00. Bukan hanya sudah berada di
pondok, tapi sudah mandi dan memegang alma’tsurat dan mushaf di tangan. Hari ini, ternyata nasib baik belum berpihak
dengan Rahma. Waktu pengajian yang molor dan peserta yang antusias bertanya,
ditambah ban motor pecah, membuatnya harus rela melanggar ta’limat. Terlambat
pulang ke pondok!.
Ceklek!,
dibukanya perlahan gagang pintu. Matanya langsung berpapasan dengan barisan
rapi muslimah berpakaian serba putih (baca: sholat maghrib berjamaah J).
Rahma langsung menuju ruang tengah, disana dilihatnya Aisy sudah berdiri sambil
memegang pensil. Ternyata Aisy diamanahi
untuk jadi petugas pencatat santri telat hari ini. Melihat Rahma yang
baru pulang, Aisy langsung bersuara. “Wah...., ada yang telat nih hari ini.
‘iqobnya diisi ya... “, katanya sambil mengerdipkan mata. Mungkin candaan ini
tidak disaat yang tepat. Saat letih raga karena seharian beraktivitas diluar
rumah dan hati yang kesal karena pulang terlambat belum hilang, candaan malahan
terasa sebagai ejekan yang menyakitkan hati.
“”iqob
apanya??!!!”teriak Rahma. Aisy terperanjat.
“ya,
kita kan udah sepakati konsekuensi telat itu seperti apa kemaren, Inga1...”sahut
Aisy dengan agak-agak takut.
“Allah
aja punya rukhsoh untuk ummatNya, Rasulullah aja masih mendengar alasan para
sahabatnya, Aisy...”, balas Rahma
sembari mengguncangkan bahu Aisy.
Mata
Aisy berkaca, tak disangkanya candaan yang maksudnya untuk menjadi pemanis
ukhuwah ternyata menjadi malapetaka.
“Inga
ini kenapa sih..., hiks...” Aisy
tersedan.
Rahma
langsung berlalu meninggalkan Aisy yang masih dalam kebingungan. Bingung dengan
sikap Rahma yang membuat hatinya terluka.
***
Waktu
berjalan cepat. Tidak terasa sudah hampir dua hari ini Rahma dan Aisy tidak
pernah lagi bertegur sapa. Walaupun bicara, itupun terpaksa dan hanya ungkapan
“iya”, “he e”, atau sekedar isyarat anggukan atau gelengan kepala, tidak lebih.
Lidah terasa kelu untuk berkata. Apatah lagi saling meminta maaf. Saat mata tak
sengaja beradu, maka refleks berpaling. Sungguh keadaan yang menyiksa dan
membuat hati gulana.
Aisy menyendiri di kamar, merenung.
Memikirkan upaya terbaik untuk merajut kembali ukhuwah yang sempat renggang.
Dia berpikir, ini adalah hari kedua perang dinginnya dengan Rahma. Berarti,
besok adalah deadline mereka untuk berbaikan. Aisy sadar Allah hanya memberinya
waktu tiga hari untuk berpikir dan merenung. Apakah memilih Allah atau memilih
setan? Memilih akal atau memilih nafsu?.
Sungguh celaka, jika mementingkan hawa nafsu. Allah telah
memperingatkan, jika tiga hari kita tetap tak mampu menatap mata saudara kita
dengan cinta, maka masihkah kita mengharap doa-doa panjang kita akan diijabah?,
masihkah berharap mencium wangi syurga ?. Aisy tersedu. Dia tidak mau, sungguh
tidak mau menjadi golongan yang celaka. Akhirnya diputuskannyalah untuk meminta
maaf. waktu sholat adalah waktu yang paling tepat!. Aisy tersenyum, menyeka air
mata.
Adzan memanggil merdu dari speaker
Masjid Al Kautsar. Waktu Isya’ tiba.
Aisy memilih tempat sholat yang berdekatan dengan Rahma. Imam sholat
kali ini Mba Yani, Pengasuh Pondok. Bacaannya
merdu, dengan tahsin yang pas di telinga.
Ayat yang dibaca cukup panjang, namun karena dilantunkan dengan tartil,
tidak terasa lama hingga sholat ditutup dengan salam. Aisy berdzikir,
dilanjutkan dengan doa. Setelah mengusapkan kedua tangan ke wajahnya, dia berpaling ke sebelah kanan, Rahma masih khusyuk
berdoa. Aisy menunggu Rahma menyudahi doa, sebelum melancarkan aksi. Hingga
akhirnya... “ Inga, maaf ya..., Aisy yang salah”. “ya sama sama, Aisy. Inga
juga minta maaf”. Hanya sebaris kata
yang terucap, tapi sudah cukup menjebol gulana yang selama 2 hari ini
menggelayuti hati keduanya.
Memang hati yang sudah terluka,
sulit sembuh seperti sedia kala. Tapi jika bisa melihat hikmah yang besar dari
sebuah peristiwa, maka kita akan melihat bekas luka itu sebagai saksi sejarah,
yang memberikan kita pengalaman yang akan menjadi guru untuk menapaki kehidupan
selanjutnya. Aisy, setelah peristiwa itu menjadi lebih bisa melihat kesalahan
dengan pertimbangan situasi dan kondisi. Demikian juga Rahma, lebih bisa
bersikap lembut dan melihat sisi baik dari sebuah gurauan. Tapi yang lebih
penting adalah, bagaimana kita bisa mengambil hikmah dari kisah nyata ini.
Memahami orang lain adalah suatu keharusan. Oleh karena itulah ulama
internasional, Hasan Al Bana’ meletakkan istilah paham (tafahum) itu di urutan
kedua setelah istilah kenal (ta’aruf). Dan memang seorang mukmin belum bisa
dikatakan kenal jika belum memahami karakter saudaranya secara utuh. Betapa
kita sering meminta pemahaman dan pemakluman dari saudara kita terhadap kita,
dan kita tidak sadar bahwa dia tidak
paham dengan kondisi apa yang harus dimaklumkannya. Dan betapa sering kita
tidak memahami keadaan saudara kita, sehingga timbul dzon-dzon negatif yang
membuat ukhuwah kita menjadi kering dan
hambar. Kita memicingkan sebelah mata
ketika melihat saudara kita melakukan kesalahan kecil, dan melupakan salah kita
yang mungkin segerobak, setruk, bahkan segudang. Kita berdoa semoga Allah masih
memberi cahaya dalam hati kita untuk konsisten berhusnudzon dengan saudara
kita, bahkan ketika alasan untuk suudzon itu lebih banyak dan pasti. kita pun terus bermunajat kepada Allah, agar Allah mengumpulkan
hati-hati kita yang terserak. Allahumma
innaka ta’lamu anna haadzihil quluub... qodij tama’at ala mahabbatik......
Duhai Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati hati ini telah
berkumpul dalam kecintaan hanya padaMu. Satukanlah hati kami ya Robb.
Rumah Tahfidz Nurul Fikri,
Dalam lintasan wajah-wajah saudara,
yang kucintai karena Allah
Ida “‘Aisy”
Mazida
1
salah
satu panggilan untuk perempuan yang lebih tua
sedih.........
BalasHapusnice cerpennya ukh :)
BalasHapus