Kamis, 18 Juli 2013


 Memoar Hidayah
by Ida Mazida

Cewek itu !!!
Ekor mataku bergerak cepat mengikuti sesosok tubuh ramping yang berjalan di pelataran  gedung B tersebut.  Sudah beberapa hari ini, aku merasa ada suara yang tak kutahu dari mana asalnya yang memberitahu bahwa gadis itu berada tak jauh dariku. Sehingga badanku akan refleks berputar, menemukannya. Dia, membangkitkan memoriku tentang seseorang. Dia, aku tak tahu nama lengkapnya. Hanya pernah mendengar seseorang memanggilnya “Rahmah”, anak tarbiyah PAI semester 3. Dia menarik buatku karena berkacamata dan beralis tebal sehingga mengesankan kalau dia cerdas. Dua poin standar kecantikan yang membuat teman-temanku tertawa.
 “Idak eh, biaso bae”1, Arin, teman yang baru kukenal lima hari belakangan ini, mengelengkan kepalanya ketika aku meminta pendapatnya  tentang Rahmah
 “Kau ko cewek, Tini, maso dak tau standar cantik tu cak mano?”2, lanjutnya.
 “ yang Arin kecek tu kan standar buatan manusio jugo, dak salah kan kalo ambo ado standar dewek”,3 belaku.
Kekagumanku pada sosoknya semakin menggunung kala berita tentangnya santer mengudara di kampus hijauku. Kesemuanya lebih disebabkan aksi vokalnya, yang kata teman-temanku menentang dosen. Menentang karena  Bapak dosen salah satu mata kuliah dengan gaya menyakinkan berceramah panjang lebar bahwa jilbab adalah budaya bukan syari’at. Dia meradang, menentang habis habisan. Hingga bahkan menghujat si Dosen bahwa apa yang dikatakannya adalah perkataan kaum kuffar!. Yak! Dosen mana yang mau lapang dada menerima pernyataan menyakitkan tersebut, bahkan dari mulut terindah sekalipun. Apa yang ditanam, itulah yang dipetik. Kudengar dia tak diizinkan lagi mengikuti mata kuliah tersebut. Sontak, kevokalannya menyebar di setiap sudut kampus, di perpustakaan, di kantin, di lorong-lorong kelas. Banyak yang menyayangkan sikapnya yang terlalu berani. Hingga dia dijuluki “Cut Nyak Din nyasar”.  Tapi aku tak sependapat dengan mereka. Aku lebih senang menyebutnya sebagai aksi pembelaan, bukan penentangan. Dia kuberi gelar tersendiri “Sekar Prembadjoen Bengkulu”, karena kevokalannya mengingatkanku dengan salah satu tokoh fiksi dalam novel tetralogi De Winst karangan Afifah Afra yang sudah 4 kali kubaca.
*** 
Hari ini cuaca sangat terik, sang surya semakin garang memanggang mayapada. Seakan ingin menunjukkan keperkasaannya ke seluruh makhluk. Bagiku ini sangat menyiksa. Berjalan dari kampus ke kosan di tengah cuaca yang tak bersahabat. Terlebih kosanku sekarang jaraknya lebih jauh. Tapi untunglah, walau bagai terbakar, aku tiba juga di kosan
“Bruk !!!!!!” kulempar tas hitam ke atas meja. Kebiasaan buruk yang sering membuat orang-orang di sekelilingku hampir copot jantung.
Segera kuambil air putih segelas. Gelas berukuran jumbo itu pun sekejap licin tandas sekali tenggak. Kuhempaskan tubuh mungilku ke kasur busa tipis yang setia menemaniku sejak SMA. Badanku seakan-akan dipijit, hmmm... enaknya... Kuambil hp di  sakuku, mengalunlah lagu “Beraksi”  yang 2 minggu ini nangkring di posisi  Top Ten Pop Music di Lessitta FM.
“ Hey... yang ada di sana
 Yang ada di sini..
 Semua ikut bernyanyi. “
Kepalaku mengangguk-angguk mengikuti irama menghentak .. Eh, tapi aku lupa. Aku kan belum sholat. Tini, Tini... Sholat kok pakai lupa segala sih, bisik batinku. Kulihat jam di hp ku. Pukul 13. 32. Segera aku beranjak ke kamar mandi. Wudhu dan lanjut  sholat Zuhur 4 rokaat. 
Tak sampai satu menit aku sudah mengkhatamkan sholat zuhurku. Siapa cepat Dia dapat... “ Cepat Sholat, Cepat Kerja yang Lain... ‘”.
“ Whoa....” Kantukku tak bisa kuusir. Kuterjunkan tubuh mungilku ke pulau kapuk. Kucari posisi senyaman mungkin. Pikiranku menerawang, memutar kembali memoar yang telah kuukir selama 19 tahun. Sekarang aku adalah mahasiswi sebuah PTAIN di kotaku. Aku diberi nama Kartini Aprilia oleh orang tuaku. Karena dilahirkan pada tanggal 21 April 1992, bertepatan dengan peringatan hari kartini. Cewek yang sangat sulit untuk bisa masuk kategori ayu, karena jiwa maskulin itu lebih sering muncul di keseharianku. aku adalah mahasiswa yang terlampau sering melanggar kode etik kampusku dengan memakai jeans hampir setiap hari. Toh, aku tak pernah diberi sanksi. Ancaman yang tertulis di spanduk bahwa mahasiswa yang melanggar kode etik akan diberi sanksi hanya sebatas lip service saja. Sehingga kawan-kawanku, mungkin sengaja, lebih sering memanggilku Tono. Aku tak pernah marah. Apalah arti sebuah nama, kata sebuah pepatah. Walau kata ustad Rozian, pepatah itu salah. Dalam Islam nama adalah doa, katanya. Ah, whateverlah...
Kulirik jam di Hp, sudah 14.45. Aku ingat, dengan selebaran yang dikasih sama Arin . “Dapat dari teman” , katanya. Kubaca dengan seksama. Ternyata selebaran diskusi muslimah dalam rangka Hari Kartini yang diadakan UKM Kerohanian. Kumasukkan kembali kertas itu ke dalam tas. Tapi, tunggu !.Moderatornya Rahmah Tiana. Cewek itu, Sekar Prembadjoen ku!.
Sholat jamaah sudah dimulai ketika langkah pertamaku memasuki pekarangan masjid Al-Furqon. Kuambil wudhu, hmm.. segarnya. Selesai sholat, aku segera bergabung dengan lingkaran diskusi di sudut musholla. Kulihat Arin sudah duduk manis. Kuhampiri dia. “Eh, tumben kau ndak datang acaro cam ko?”4 katanya sambil senyum. “bosan pulo jadi mahasiswa kupu kupu terus, sesekali dak ngapo nambah iman ”5 ,sahutku sok diplomatis.
Diskusi baru dimulai. Kuamati pesertanya,  ada beberapa orang yang penampilannya mirip denganku. Aku menarik napas, agak sedikit lega. Mba ”Sekar”ku membuka diskusi yang  bertema “Kartini dan Masa Depan Islam”. Dia mengawalinya dengan semangat menggebu-gebu:
“selamat datang saya ucapkan atas kehadiran teman-teman pada forum diskusi ini”.
ada kain yang menutup mahkotanya.  Kemana Sekarku yang dulu? Aku uring-uringan, bahkan sampai 2 bulan tak datang kajian. Tak kuhiraukan ajakan pementorku. Hingga kemudian Arin menyodorkan sebuah kisah fenomenal, Nasehat Abu Bakr kepada  Umar ketika Rosulullah wafat. “ Barangsiapa menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah wafat. Barangsiapa menyembah Allah semata, sesungguh Allah kekal selama-lamaya.” Air mataku berderai di dekapan Arin. Sahabat yang selalu setia mendampingiku dan sangat memahamiku. Egoku runtuh.  Siapakah yang sebenarnya yang menginspirasiku? Dia atau Allah? Kusentuh kembali Qur’an hijauku yang selama 2 bulan  ini berdebu dalam laci meja belajarku. Mataku basah  membaca teguran Allah dalam  QS. Al Isro’:15
”Insya Allah apa yang kita lakukan pada hari ini adalah bagian dari langkah kita untuk mencerdaskan perempuan Indonesia”  ujarnya.
Diskusi terus berlanjut, semakin sore  semakin seru. Banyak hal baru yang kudapat. Diantaranya adalah adanya intervensi Barat atas digaungkannya isu emansipasi wanita melalui hari kartini. Propaganda bahwa jilbab mengekang kebebasan wanita. Kesemuanya itu untuk menyudutkan Islam, untuk menjauhkan generasi Islam dari agamanya sendiri. Padahal di akhir-akhir kehidupannya, Kartini banyak belajar Islam. Tapi kajiannya belum sampai pada ayat yang memerintahkan berjilbab. Ini menandakan bahwa sebagai seorang perempuan, kita juga wajib mendalami Islam sebagaimana kaum adam. Diskusi selesai pukul 17. 30.  Aku segera mengambil langkah seribu untuk meninggalkan masjid, jika tidak ada sapaan lembut yang menghentikan langkahku.
“ Eh, Tini !!”, kutolehkan kepalaku, Mb “Sekar” sudah ada di dekatku. Koq dia tau ya namaku. Kulihat di belakangnya, Arin cengar cengir penuh arti. O, pantes.
 “pulang kemana?” ,katanya lembut. “ah, eh.., ke Tirta Dewa 3 mba.” Aku tergagap. “Yuk mba antar”, katanya tanpa basa basi.
Dengan Honda Beat-nya, akhirnya aku tiba di kosan. Sebelum pulang mba “Sekar” mengajakku untuk hadir lagi kajian minggu depan. Aku mengangguk mantap.
***
Tidak terasa sudah hampir setahun aku aktif di kajian Muslimah UKM Kerohanian, Tapi baru 3 bulan terkhir ini aku tergabung di kepengurusan bersama Arin. Aku juga bersyukur pada Allah yang telah memberiku hidayah untuk mengenakan pakaian takwa ini, alhamdulillah. Aku semakin haus untuk belajar Islam dari sumber manapun. Buku, teman-teman, dan tentu saja dari pementorku di studi Qur’an. Sering ku menangis atas kebodohan yang telah kubuat di masa silam. 
Sayangnya, sudah 2 minggu ini tak kutemukan lagi Sekar Prembadjoen ku di UKM ini. Kutanya pada teman-teman, mereka tak ada yang mau menjawab. Hingga suatu hari dengan mata kepalaku sendiri, kulihat dirinya. Gamis indah dahulu terbang entah kemana dari tubuhnya, berganti dengan pakaian Tantri, vokalis band idolaku dulu. Hanya saja masih  
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan  hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri.”
Duhai Allah, jangan Kau biarkan kultus individu membuatku buta akan inspirasi nyata darimu. Robbanaa laa tuzigh quluubanaa ba’da idzhadaitanaa, wa hablanaa min ladunka rohmah, innaka antal wahhaab.
                                                            Kenangan masa transisi,  April 2013
***
1nggak ah, biasa saja
2kamu kan cewek, masa nggak tahu standar kecantikan itu gimana
3yang Arin bilang kan standar bikinan manusia, masa aku gak boleh punya standar sendiri
4eh, tumben mau datang acara kayak gini
5bosan juga jadi mahasiswa kupu-kupu terus, sekali gak apa-apa nambah iman


1 komentar: