Memoar
Hidayah
by Ida Mazida
Cewek
itu !!!
Ekor mataku bergerak
cepat mengikuti sesosok tubuh ramping yang berjalan di pelataran gedung B tersebut. Sudah beberapa hari ini, aku merasa ada suara
yang tak kutahu dari mana asalnya yang memberitahu bahwa gadis itu berada tak
jauh dariku. Sehingga badanku akan refleks berputar, menemukannya. Dia,
membangkitkan memoriku tentang seseorang. Dia, aku tak tahu nama lengkapnya.
Hanya pernah mendengar seseorang memanggilnya “Rahmah”, anak tarbiyah PAI
semester 3. Dia menarik buatku karena berkacamata dan beralis tebal sehingga
mengesankan kalau dia cerdas. Dua poin standar kecantikan yang membuat
teman-temanku tertawa.
“Idak eh, biaso bae”1, Arin, teman
yang baru kukenal lima hari belakangan ini, mengelengkan kepalanya ketika aku
meminta pendapatnya tentang Rahmah
“Kau ko cewek, Tini, maso dak tau standar
cantik tu cak mano?”2, lanjutnya.
“ yang Arin kecek tu kan standar buatan
manusio jugo, dak salah kan kalo ambo ado standar dewek”,3 belaku.
Kekagumanku pada
sosoknya semakin menggunung kala berita tentangnya santer mengudara di kampus hijauku. Kesemuanya lebih disebabkan aksi vokalnya, yang kata teman-temanku
menentang dosen. Menentang karena Bapak
dosen salah satu mata kuliah dengan gaya menyakinkan berceramah panjang lebar
bahwa jilbab adalah budaya bukan syari’at. Dia meradang, menentang habis
habisan. Hingga bahkan menghujat si Dosen bahwa apa yang dikatakannya adalah
perkataan kaum kuffar!. Yak! Dosen mana yang mau lapang dada menerima pernyataan
menyakitkan tersebut, bahkan dari mulut terindah sekalipun. Apa yang ditanam,
itulah yang dipetik. Kudengar dia tak diizinkan lagi mengikuti mata kuliah
tersebut. Sontak, kevokalannya menyebar di setiap sudut kampus, di
perpustakaan, di kantin, di lorong-lorong kelas. Banyak yang menyayangkan
sikapnya yang terlalu berani. Hingga dia dijuluki “Cut Nyak Din nyasar”. Tapi aku tak sependapat dengan mereka. Aku
lebih senang menyebutnya sebagai
aksi pembelaan, bukan penentangan. Dia kuberi gelar tersendiri “Sekar
Prembadjoen Bengkulu”, karena kevokalannya mengingatkanku dengan salah satu
tokoh fiksi dalam novel tetralogi De Winst karangan Afifah Afra yang sudah 4
kali kubaca.
***
Hari ini cuaca sangat terik, sang surya semakin garang
memanggang mayapada. Seakan ingin menunjukkan keperkasaannya ke seluruh
makhluk. Bagiku ini sangat menyiksa. Berjalan dari kampus ke kosan di tengah
cuaca yang tak bersahabat. Terlebih kosanku sekarang jaraknya lebih jauh. Tapi
untunglah, walau bagai terbakar, aku tiba juga di kosan
“Bruk !!!!!!” kulempar tas hitam ke atas meja.
Kebiasaan buruk yang sering membuat orang-orang di sekelilingku hampir copot
jantung.
Segera kuambil air putih segelas. Gelas berukuran
jumbo itu pun sekejap licin tandas sekali tenggak. Kuhempaskan tubuh mungilku
ke kasur busa tipis yang setia menemaniku sejak SMA. Badanku seakan-akan
dipijit, hmmm... enaknya... Kuambil hp di
sakuku, mengalunlah lagu “Beraksi”
yang 2 minggu ini nangkring di posisi
Top Ten Pop Music di Lessitta FM.
“ Hey... yang ada di sana
Yang ada di
sini..
Semua ikut
bernyanyi. “
Kepalaku mengangguk-angguk mengikuti irama menghentak
.. Eh, tapi aku lupa. Aku kan belum sholat. Tini, Tini... Sholat kok pakai
lupa segala sih, bisik batinku. Kulihat jam di hp ku. Pukul 13. 32. Segera
aku beranjak ke kamar mandi. Wudhu dan lanjut
sholat Zuhur 4 rokaat.
Tak sampai satu menit aku sudah mengkhatamkan sholat
zuhurku. Siapa cepat Dia dapat... “ Cepat Sholat, Cepat Kerja yang Lain... ‘”.
“ Whoa....” Kantukku tak bisa kuusir. Kuterjunkan
tubuh mungilku ke pulau kapuk. Kucari posisi senyaman mungkin. Pikiranku
menerawang, memutar kembali memoar yang telah kuukir selama 19 tahun. Sekarang
aku adalah mahasiswi sebuah PTAIN di kotaku. Aku diberi nama Kartini Aprilia
oleh orang tuaku. Karena dilahirkan pada tanggal 21 April 1992, bertepatan
dengan peringatan hari kartini. Cewek yang sangat sulit untuk bisa masuk
kategori ayu, karena jiwa maskulin itu lebih sering muncul di keseharianku. aku
adalah mahasiswa yang terlampau sering melanggar kode etik kampusku dengan
memakai jeans hampir setiap hari. Toh, aku tak pernah diberi sanksi. Ancaman
yang tertulis di spanduk bahwa mahasiswa yang melanggar kode etik akan diberi
sanksi hanya sebatas lip service saja. Sehingga kawan-kawanku, mungkin sengaja,
lebih sering memanggilku Tono. Aku tak pernah marah. Apalah arti sebuah nama,
kata sebuah pepatah. Walau kata ustad Rozian, pepatah itu salah. Dalam Islam
nama adalah doa, katanya. Ah, whateverlah...
Kulirik jam di Hp, sudah 14.45. Aku ingat, dengan
selebaran yang dikasih sama Arin . “Dapat dari teman” , katanya. Kubaca dengan
seksama. Ternyata selebaran diskusi muslimah dalam rangka Hari Kartini yang
diadakan UKM Kerohanian. Kumasukkan kembali kertas itu ke dalam tas. Tapi,
tunggu !.Moderatornya Rahmah Tiana. Cewek itu, Sekar Prembadjoen ku!.
Sholat jamaah sudah dimulai ketika langkah pertamaku
memasuki pekarangan masjid Al-Furqon. Kuambil wudhu, hmm.. segarnya. Selesai
sholat, aku segera bergabung dengan lingkaran diskusi di sudut musholla.
Kulihat Arin sudah duduk manis. Kuhampiri dia. “Eh, tumben kau ndak datang
acaro cam ko?”4 katanya sambil senyum. “bosan pulo jadi mahasiswa
kupu kupu terus, sesekali dak ngapo nambah iman ”5 ,sahutku sok
diplomatis.
Diskusi
baru dimulai. Kuamati pesertanya, ada
beberapa orang yang penampilannya mirip denganku. Aku menarik napas, agak
sedikit lega. Mba ”Sekar”ku membuka diskusi yang bertema “Kartini dan Masa Depan Islam”. Dia
mengawalinya dengan semangat menggebu-gebu:
“selamat
datang saya ucapkan atas kehadiran teman-teman pada forum diskusi ini”.
ada
kain yang menutup mahkotanya. Kemana
Sekarku yang dulu? Aku uring-uringan, bahkan sampai 2 bulan tak datang
kajian. Tak kuhiraukan ajakan pementorku. Hingga kemudian Arin menyodorkan
sebuah kisah fenomenal, Nasehat Abu Bakr kepada
Umar ketika Rosulullah wafat. “ Barangsiapa menyembah Muhammad,
sesungguhnya Muhammad telah wafat. Barangsiapa menyembah Allah semata,
sesungguh Allah kekal selama-lamaya.” Air mataku berderai di dekapan Arin.
Sahabat yang selalu setia mendampingiku dan sangat memahamiku. Egoku runtuh. Siapakah yang sebenarnya yang menginspirasiku?
Dia atau Allah? Kusentuh kembali Qur’an hijauku yang selama 2 bulan ini berdebu dalam laci meja belajarku. Mataku
basah membaca teguran Allah dalam QS. Al Isro’:15
”Insya
Allah apa yang kita lakukan pada hari ini adalah bagian dari langkah kita untuk
mencerdaskan perempuan Indonesia” ujarnya.
Diskusi
terus berlanjut, semakin sore semakin
seru. Banyak hal baru yang kudapat. Diantaranya adalah adanya intervensi Barat
atas digaungkannya isu emansipasi wanita melalui hari kartini. Propaganda bahwa
jilbab mengekang kebebasan wanita. Kesemuanya itu untuk menyudutkan Islam,
untuk menjauhkan generasi Islam dari agamanya sendiri. Padahal di akhir-akhir
kehidupannya, Kartini banyak belajar Islam. Tapi kajiannya belum sampai pada
ayat yang memerintahkan berjilbab. Ini menandakan bahwa sebagai seorang perempuan,
kita juga wajib mendalami Islam sebagaimana kaum adam. Diskusi selesai pukul
17. 30. Aku segera mengambil langkah
seribu untuk meninggalkan masjid, jika tidak ada sapaan lembut yang
menghentikan langkahku.
“
Eh, Tini !!”, kutolehkan kepalaku, Mb “Sekar” sudah ada di dekatku. Koq dia
tau ya namaku. Kulihat di belakangnya, Arin cengar cengir penuh
arti. O, pantes.
“pulang kemana?” ,katanya lembut. “ah, eh..,
ke Tirta Dewa 3 mba.” Aku tergagap. “Yuk mba antar”, katanya tanpa basa basi.
Dengan
Honda Beat-nya, akhirnya aku tiba di kosan. Sebelum pulang mba “Sekar”
mengajakku untuk hadir lagi kajian minggu depan. Aku mengangguk mantap.
***
Tidak terasa sudah
hampir setahun aku aktif di kajian Muslimah UKM Kerohanian, Tapi baru 3 bulan
terkhir ini aku tergabung di kepengurusan bersama Arin. Aku juga bersyukur pada
Allah yang telah memberiku hidayah untuk mengenakan pakaian takwa ini,
alhamdulillah. Aku semakin haus untuk belajar Islam dari sumber manapun. Buku,
teman-teman, dan tentu saja dari pementorku di studi Qur’an. Sering ku menangis
atas kebodohan yang telah kubuat di masa silam.
Sayangnya, sudah 2 minggu ini tak kutemukan lagi Sekar Prembadjoen ku di
UKM ini. Kutanya pada teman-teman, mereka tak ada yang mau menjawab. Hingga
suatu hari dengan mata kepalaku sendiri, kulihat dirinya. Gamis indah dahulu
terbang entah kemana dari tubuhnya, berganti dengan pakaian Tantri, vokalis
band idolaku dulu. Hanya saja masih
“Barangsiapa
yang berbuat sesuai dengan hidayah
(Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri;
dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian)
dirinya sendiri.”
Duhai Allah, jangan Kau biarkan kultus
individu membuatku buta akan inspirasi nyata darimu. Robbanaa laa tuzigh quluubanaa ba’da idzhadaitanaa, wa hablanaa min
ladunka rohmah, innaka antal wahhaab.
Kenangan
masa transisi, April 2013
***
1nggak
ah, biasa saja
2kamu
kan cewek, masa nggak tahu standar kecantikan itu gimana
3yang
Arin bilang kan standar bikinan manusia, masa aku gak boleh punya standar
sendiri
4eh,
tumben mau datang acara kayak gini
5bosan
juga jadi mahasiswa kupu-kupu terus, sekali gak apa-apa nambah iman
Allah telah memberi hidayah pada kita semua
BalasHapus